Setiap tahun ramai masyarakat kita seperti tidak cukup berseronok dan bergembira, walaupun mereka tahu bahawa sepanjang tahun mereka masih belum cukup amalan untuk dibawa ke akhirat kelak. Ramai yang suka meniru perbuatan jelek sesetengah masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda, bermaksud
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bahagian dari kaum tersebut.”
(Hadis shahih riwayat Abu Daud)
Mereka sanggup meniru malah menunggu, berdinginan di malam hari, di tengah padang, yang menyedihkan mereka sanggup membawa anak-anak tidak tidur malam, kononnya menyambut tahun baru.
Yang lebih menyesatkan mereka meraikan tahun baru di tempat yang menyediakan muzik kuat dan arak bermabukkan bersama orang-orang yang bermaksiat kepada Allah.
Mereka ingin tergolong ke dalam menyaksikan perayaan besar, perayaan yang dilangsungkan secara besar-besaran oleh masyarakat di seluruh dunia. Itulah perayaan tahun baru yang secara rutin disambut dan dimeriahkan dengan berbagai acara dan kemeriahan disulami kefasikan juga kemasiatan.
Perayaan tahun baru masihi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui bila pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang Dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beginnings.
Janus adalah seorang dewa yang memiliki Dua Wajah satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
(G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masihi, pertama kali dirayakan orang kafir, terutama masyarakat Romawi.
Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat yang lain kononnya moden dan maju walaupun mereka tidak mengetahui Spritual Ibadah Pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya bunga api.
Fikirkanlah, apa pun alasan k kalian adakah kalian sanggup bersama meraikan sesuatu sambutan yang asalnya untuk para dewa?
Tanya diri kalian, tepuk dada tanya iman. Apakah tidak cukup dengan sambutan Hari Raya Aidilfitri dan Aidil Adha yang telah disyariatkan kepada kalian, tidak cukupkah kalian bergembira semasa itu?
Sambutan Tahun Baru 2020 |
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda, bermaksud
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bahagian dari kaum tersebut.”
(Hadis shahih riwayat Abu Daud)
Mereka sanggup meniru malah menunggu, berdinginan di malam hari, di tengah padang, yang menyedihkan mereka sanggup membawa anak-anak tidak tidur malam, kononnya menyambut tahun baru.
Yang lebih menyesatkan mereka meraikan tahun baru di tempat yang menyediakan muzik kuat dan arak bermabukkan bersama orang-orang yang bermaksiat kepada Allah.
Mereka ingin tergolong ke dalam menyaksikan perayaan besar, perayaan yang dilangsungkan secara besar-besaran oleh masyarakat di seluruh dunia. Itulah perayaan tahun baru yang secara rutin disambut dan dimeriahkan dengan berbagai acara dan kemeriahan disulami kefasikan juga kemasiatan.
Perayaan tahun baru masihi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui bila pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang Dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beginnings.
Janus adalah seorang dewa yang memiliki Dua Wajah satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
(G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masihi, pertama kali dirayakan orang kafir, terutama masyarakat Romawi.
Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat yang lain kononnya moden dan maju walaupun mereka tidak mengetahui Spritual Ibadah Pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya bunga api.
Fikirkanlah, apa pun alasan k kalian adakah kalian sanggup bersama meraikan sesuatu sambutan yang asalnya untuk para dewa?
Tanya diri kalian, tepuk dada tanya iman. Apakah tidak cukup dengan sambutan Hari Raya Aidilfitri dan Aidil Adha yang telah disyariatkan kepada kalian, tidak cukupkah kalian bergembira semasa itu?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan